Asal Muasal Nama Muara Badak
Mendengar nama Kecamatan Muara Badak, imajinasi orang
terutama yang baru pertama kali mendengar dan belum pernah berkunjung mengarah
kepada hewan Badak yang bertubuh gempal, berkulit tebal, bercula dan senang
berendam di kubangan. Di sini, menurut imajinasi orang, ada habitat hewan
Badak. Paling tidak pernah ada jenis binatang tersebut yang pernah hidup di
kecamatan yang kaya sumber daya alam ini.
Imajinasi tersebut memang tidak salah, lantaran banyak
kampung, desa, kecamatan atau wilayah diberi nama sesuai dengan ciri khas
kampung tersebut. Misalnya, di Kota Samarinda, ada kampung yang diberi nama
Kampung Buaya, lantaran di kampung itu ada penangkaran buaya.
Namun manakala menghubungkan nama Kecamatan Muara Badak
dengan nama hewan Badak, menurut para tetuha atau tokoh kecamatan itu salah
besar. Pemberian nama ‘Badak pada kecamatan (yang dulunya kampung/desa itu)
tidak punya hubungan sama sekati dengan nama hewan Badak.
Versi Pertama
Konon, menurut penuturan salah seorang tokoh Muara Badak, H.
Abdul Wahab HAR, nama Muara Badak itu muncuat pada awal tahun 1806. Ihwat
cerita, ketika itu, leluhur Abdul Wahab HAR yang memperoleh konsesi untuk
mendiami wilayah tersebut dari Sultan Kutai, mendapat kunjungan dari kerabat
Kesultanan Kutai.
Dalam perjalanan dari Tenggarong, menyisir Sungai Mahakam,
rombongan kerabat Kesultanan Kutai itu mengagumi pohon-pohon besar yang berada
di tepi sungai.
Saat mendarat, kekaguman itu memuncak manakala menyaksikan
melihat pohon Tempura Badak (memiliki tinggi 40 m, mempunyai buah yang butat
yang dapat dibuat bubur. Sekarang sudah punah) di muara perkampungan yang
dituju.
‘Bada lehh!!!” seru kerabat Sultan Kutai yang memimpin
rombongan itu, berseru memuji dan kagum melihat pohon itu. Sontak, rombongan
penyambut yang terdiri dari suku pendatang (Bugis) dan suku asli (Kutai)
mengartikan bahwa nama kampung mereka yang baru dan belum punya nama itu,
Kampung Muara Badak, lantaran seruan kagum kerabat Sultan itu.
Setelah ada kesepakatan yang berawal dari ketidaksengajaan,
sejak saat itu nama Muara Badakdipakai untuk perkampungan baru itu. Menyinggung
tentang versi lain yang mengatakan bahwa nama Muara Badak itu disebabkan adanya
hewan Badak, Abdul Wahab HAR membantahnya.”Sejak kecil hingga sekarang, saya
tidak pernah melihat Badak di sini,” ucap tokoh masyarakat yang dilahirkan di
Muara Badak, 4 Mei 1947 itu.
Versi Kedua
SEPERTI yang diketahui bahwa kerajaan Kutai Ing Martadipura
adalah kerajaan tertua di Indonesia. Dulu, orang tidak mengenal. Kalimantan
Timur melainkan Tanah Kutai dan pada tahun 1806 ada seorang bernama Ismail
(lsmaila) beserta keluarga dan rombongannya berlayar dari Sulawesi Selatan
menuju tanah Kutai dengan menggunakan perahu phinisi.
Mereka mengarungi lautan luas meninggalkan Sulawesi menuju
Tanah Kutai karena tidak tahan terhadap perlakuan pemerintah Kerajaan Belanda
yang dijalankan dengan sangat kejam serta perlakuan di luar batas kemanusiaan.
Setibanya di Tanah Kutai, dilihatnya hutan tumbuh subur
hingga muncullah keinginannya dalam hati akan membuka perkebunan kelapa. Namun
sebelum niat lsmaila tersebut terlaksana, is terus berlayar menuju Tenggarong
menghadap Sultan Kutai dengan maksud untuk meminta tanah perkebunan di dekat
pantai.
Ismaila diterima baik oleh Sultan Kutai. Dengan tekad yang
baik disertai niat yang tulus, maka dalam pertemuannya dengan Sultan
dibicarakanlah apa keinginannya. Kesimpulannya Sultan mengabulkan keinginan
Ismaila. Bahkan dengan kemurahannya Sultan memberikan wilayah untuk dipilih
mulai dari wilayah Kutai Lama sampai pantai laut mana saja yang disukai Ismaila
dan jika sudah mendapat tempat yang disenangi maka ia diminta untuk melapor
pada Sultan.
Setelah menghadap Sultan Kutai, Ismaila kembali menyusuri
pantai sambil melihat-lihat keadaan pantai dan hutannya. Satu hari satu malam
Ismaila menyusuri pantai dan pada pagi harinya ia melihat sebuah sungai yang
sesuai dengan pesan orang-orang tua dahulu. Sungai yang menyusu pada laut
sangat bagus ditempati untuk berusaha. Karenanya berlabuhlah Ismailah di muara
sungai tersebut.
Hari itu bertepatan hari Senin. Setelah sarapan pagi ia
memasuki sungai tersebut sepanjang kurang lebih 2 km. Karena perahunya tidak
mampu lagi masuk ke dalam, maka berlabuhlah ia di tempat itu yang selama ini
kita kenal Toko Lima.
Ketika itu sekoci diturunkan untuk dipakai masuk ke dalam
sungai untuk memeriksa apakah tanahnya dan keadaan sekitarnya cocok atau tidak
seperti yang diinginkan. Belum jauh Ismaila dari perahu besarnya, ia melihat
buah kayu BADAK dan tidak jauh dari tempat itu tampak pohon- pohonnya dan
kebetulan Ismaila melihat sepasang badak yang sedang berlari.
Kurang lebih 6 km dari muara di temukanlah Tanah Tinggi,
maka bertahanlah Ismaila di tempat tersebut untuk memeriksa keadaannya. Wilayah
itu sangat disukainya. Wilayah tersebut kemudian kita kenal dengan nama Muara
Badak.
Nama Muara Badak adalah pemberian dari Ismaila (orang yang
pertama membuka wilayah) karena ia menemukan adanya pohon badak dan binatang
badak dan sumber lain mengatakan Muara Badak dulu bernama Kuala Badak.
Versi Ketiga
Di samping versi di atas, ada juga versi lainnya. Konon,
Muara Badak zaman dahulu masih merupakan hutan belantara dan rawa-rawa yang tak
berpenghuni. Sekitar tahun 1825 tiga orang perantau suku Bugis yakni Wa
Sennang, Wa Ukku dan Wa Alto beserta sembilan orang Joa (pesuruh) melakukan perjalanan
meninggalkan Tanah Ogi (bugis) untuk mencari tempat pemukiman baru dengan
tujuan pulau Kalimantan, kepergian mereka dilatarbelakangi oleh konflik politik
dan perang antar-kerajaan yang memberikan dampak negatif pada kehidupan
masyarakat Sulawesi pada saat itu.
Misalnya seringnya terjadi perampokan, perampasan hak,
pembunuhan dan lain sebagainya. Dengan dasar tersebut ketiga orang yang
merupakan suku Bugis Bone Sulawesi Selatan yang masih memiliki darah keturunan
dengan Raja Bone meninggalkan daerah kelahiran mereka.
Dalam perjalanan panjang tersebut pada suatu hari La
Sennang, Wa Ukku dan Wa Alto akhirnya sampai di daerah tujuan sebuah pantai
(saat ini Muara Badak).
Karena kelelahan Wa Sennang tertidur. Dalam tidurnya
tersebut ia bermimpi memasang beta (perangkap ikan) dan mendapat ikan yang
banyak. Pada saat bangun untuk Shatat Subuh ia kemudian mengajak ketiga
saudaranya untuk meneruskan perjalanan ke arah muara pantai dan mengatakan
bahwa mereka sudah sampai di tempat yang diimpikan.
Lalu kemudian Wa Sennang menyuruh kedua saudaranya Wa Ukku
dan Wa Alto untuk mengambilnair ke sungai sambil melihat kondisi di dalamnya.
Dari hasil laporan pembantunya Wa Sennang bersama Wa Ukku dan Wa Alto kembali
melakukan “survey” di tempat mengambil air tersebut.
Selang beberapa jam, lalu masuklah mereka semua bersama
rombongan menggunakan perahu dan sandar/berlabuh pertama (di daerah yang saat
ini disebut gang Keramat di Desa Muara Badak Ulu) dan kemudian mereka melihat
daerah ini sangat baik dan cocok untuk di jadikan tempat tinggal dimana
kondisinya yang masih bersih ikan-ikan di sungainya masih dapat terlihat, dan
berdasarkan pengamatan Wa Sennang dengan mengambil cara melihat orang-orang tua
terdahulu, sungai Muara Badak bermuara/menyusu ke muara laut di mana matahari
terbit atau ke arah timur yang menurut mitos Bugis daerah tersebut sangat baik
untuk ditempati dan memiliki masa depan yang cerah.
Maka sejak saat itu mulailah mereka memilih daerah sebelah
kiri muara sungai dan kemudian memulai pekerjaan merintis dan membabat hutan
yang masih sangat perawan. Dengan kesabaran, ketabahan, keuletan, dan ketekunan
akhirnya mereka berhasil membuka tahan pemukiman, selama melakukan kegiatan
tersebut mereka hanya makan buah-buahan yang ada di hutan. Termasuk mereka menemukan
buah yang disebut dengan “tampara badak” sebagai cikal bakal nama Muara Badak.
Mengetahui daerah yang akan ditempati adalah merupakan
wilayah kekuasaan kesultanan Kutai, maka Wa Sennang meminta izin kepada kerabat
kerajaan Kutai yang diberikan kekuasaan wilayah, termasuk Muara Badak saat itu
oleh sultan Kutai yaitu Adji Biduk, anak pertama dari isteri pertama Adji
Muhammad Salehuddin untuk membuka kawasan pemukiman.
Maka kerabat kerabat kerajaan saat itu Adji Biduk bersama
rombongan datang mengunjungi tempat yang dimaksud oleh Wa Sennang, karena
begitu kagum dengan daerah tersebut secara spontan Adji Biduk berucap dengan
bahasa Kutai yang kental “Badak leh…bagus beneh tempat ini yo!”
Dan ia ungkapan tersebut Wa Sennang dan kawan-kawan secara
spontan juga mengatakan/menyahuti dengan logat Bugis “lye’ Asenna Muara Badak”
dikarenakan mereka sebelumnya lebih dulu mengetahui ada buah Tampara badak yang
ada di muara, maka sejak saat itu di sebutlah wilayah ini sebagai Muara Badak.
Hari, minggu, bulan dan tahun berganti, kehidupan warga dan
masyarakat di daerah yang pertama dibuka oleh Wa Sennang, Wa Ukku dan Wa Alto
semakin berkembang dan penghuninya bertambah, daerah yang tadinya hutan rimba
kini berubah menjadi kawasan pemukiman yang ramai dan dipenuhi kebun kelapa
hingga ke muara pantai.
Masyarakat penghuninya pun beragam suku, namun lebih dominan
suku Kutai dan Bugis saat itu. Walau pun masyarakatnya plural (berbeda suku)
namun kerukunan dan kedamaian di wilayah tersebut selalu terjaga hingga turun
temurun.
Pustaka – SEJARAH MUARA BADAK
Tim Kreatif Sdr. Fitri
Sumber : Dikutip langsung dari https://www.facebook.com/pages/Muara-Badak-Menuju-MURI/252706728181483