Dolly atau Gang Dolly adalah nama sebuah kawasan lokalisasi
pelacuran yang terletak di daerah Jarak, Pasar Kembang, Kota Surabaya, Jawa
Timur, Indonesia. Di kawasan lokalisasi ini, wanita penghibur
"dipajang" di dalam ruangan berdinding kaca mirip etalase.
Konon lokalisasi ini adalah yang terbesar di Asia Tenggara
lebih besar dari Patpong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura. Bahkan
pernah terjadi kontroversi untuk memasukkan Gang Dolly sebagai salah satu
daerah tujuan wisata Surabaya bagi wisatawan mancanegara.
Lokalisasi ini hampir menyelimuti seluruh jalan di kawasan
itu. Bahkan, Dolly lebih dikenal ketimbang kota Surabaya sendiri. Para bule
yang sering mangkal di Bali pun kerap menyeberang ke Surabaya hanya untuk
'menjajal' wanita-wanita malam yang dijajakan di Dolly.
Bicara soal Dolly, tak banyak yang tahu tentang bagaimana
sejarah lokalisasi ini berdiri hingga bisa besar dan terkenal seperti sekarang.
Sejarah mencatat, kawasan Dolly rupanya dahulu adalah tempat
pemakaman warga Tionghoa pada zaman penjajahan Belanda. Namun pemakaman ini
disulap oleh seorang Noni Belanda bernama Dolly sebagai tempat prostitusi
khusus bagi para tentara negeri kincir angin itu. Bahkan keturunan tante Dolly
juga disebut-sebut masih ada hingga kini malah tidak meneruskan bisnis
esek-esek ini.
Sebagai pencetus komplek lokalisasi di Jalan Jarak,
Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya ini maka perempuan
dengan sebutan tante Dolly itu kemudian dikenal sebagai tokoh melegenda tentang
asal muasal terbentuknya gang lokalisasi prostitusi tersebut.
Dalam beberapa kisah tutur masyarakat Surabaya, awal pendiriannya,
tante Dolly hanya menyediakan beberapa gadis untuk menjadi pekerja seks
komersial. Melayani dan memuaskan syahwat para tentara Belanda. Seiring
berjalannya waktu, ternyata pelayanan para gadis asuhan tante Dolly tersebut
mampu menarik perhatian para tentara untuk datang kembali.
Dalam perkembangannya, gang Dolly semakin dikenal masyarakat
luas. Tidak hanya prajurit Belanda saja yang berkunjung, namun warga pribumi
dan saudagar yang berdagang di Surabaya juga ikut menikmati layanan PSK.
Sehingga kondisi tersebut berpengaruh kepada kuantitas pengunjung dan jumlah
PSK.
Dolly juga menjelma menjadi kekuatan dan sandaran hidup bagi
penduduk di sana. Terdapat lebih dari 800 wisma esek-esek, kafe dangdut dan
panti pijat plus yang berjejer rapi. Setidaknya setiap malam sekitar 9.000
lebih penjaja cinta, pelacur di bawah umur, germo, ahli pijat siap menawarkan
layanan kenikmatan kepada para pengunjung.
Tidak hanya itu, Dolly juga menjadi tumpuan hidup bagi
ribuan pedagang kaki lima, tukang parkir, dan calo prostitusi. Semua saling
berkait menjalin sebuah simbiosis mutualisme.
Kisah lain tentang Dolly juga pernah ditulis Tjahjo Purnomo
dan Ashadi Siregar dalam buku berjudul "Dolly: Membedah Dunia Pelacuran
Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly" yang diterbitkan Grafiti Pers,
April 1982. Dalam buku itu disebutkan dulu kawasan Dolly merupakan makam
Tionghoa, meliputi wilayah Girilaya, berbatasan dengan makam Islam di Putat
Gede.
Baru sekitar tahun 1966 daerah itu diserbu pendatang dengan
menghancurkan bangunan-bangunan makam. Makam China itu tertutup bagi jenazah
baru, dan kerangka lama harus dipindah oleh ahli warisnya. Ini mengundang orang
mendapatkan tanah bekas makam itu, baik dengan membongkar bangunan makam,
menggali kerangka jenazah, atau cukup meratakan saja.
Setahun kemudian, 1967, muncul seorang pelacur wanita
bernama Dolly Khavit di kawasan makam Tionghua tersebut. Dia kemudian menikah
dengan pelaut Belanda, pendiri rumah pelacuran pertama di jalan yang sekarang
bernama Kupang Gunung Timur I. Wisma miliknya antara lain bernama T, Sul, NM,
dan MR. Tiga di antara empat wisma itu disewakan pada orang lain. Demikian asal
muasal nama Dolly.
Dolly semakin berkembang pada era tahun 1968 dan 1969.
Wisma-wisma yang didirikan di sana semakin banyak. Adapun persebarannya dimulai
dari sisi jalan sebelah barat, lalu meluas ke timur hingga mencapai sebagian
Jalan Jarak.
Belakangan, ramai dibicarakan bahwa tempat prostitusi ini
bakal ditutup oleh pemerintah setempat. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini
menjadi salah satu aktor utama yang ingin jika tempat-tempat lokalisasi di
kawasan Surabaya ditutup. Alasannya, lokalisasi selalu menjadi muara kasus
human trafficking yang kian menjadi akhir-akhir ini.
Pertanyaannya, mampukah sang wali kota menutup Dolly?
Pasalnya, Dolly juga diyakini menjadi salah satu penyumbang APBD terbesar
setiap bulannya bagi pemerintah Surabaya, berkisar hingga puluhan miliar
rupiah, uang yang masuk dari praktik haram itu ke pemerintah daerah Surabaya.